RSS

Pages

Kamis, 16 Juni 2011

Memilih Untuk Hidup Berarti


Moh. Syahruzzaky Romadloni

Apa yang terngiang dalam benak anda ketika mendengar kata ‘pondok pesantren’? Tentunya berbagai macam tanggapan akan lahir dalam benak anda tergantung dari seberapa besar perkenalan anda dengan dunia pondok pesantren. Dari sekian pendapat, ada yang melihat dengan kaca mata positif, dan tidak sedikit pula yang berkonotasi negatif. Ya, itu tadi tergantung dari sejauh mana anda mengenal dunia pendidikan khas Islam ini. Namun apakah sebenarnya pondok pesantren itu? Dan apa yang terkandung di dalamnya? 




Pondok pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan yang memiliki ciri-ciri khas yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lainnya di dunia. Salah satu kekhasan yang dimilikinya adalah melekatnya peran para kyai sebagai tokoh sentral di dalamnya. Mereka mendapatkan keistimewaan lebih karena biasanya kyai adalah pendiri atau keturunan dari pendiri pondok pesantren yang dengan ikhlas tanpa pamrih membangun pondok pesantren untuk kemajuan ummat. Jarang dari mereka yang memiliki ambisi duniawi ketika membangun fondasi pondok pesantren.

Sentral yang kedua yang tidak dapat dipisahkan dari pondok pesantren adalah masjid. Dalam hal ini masjid berfungsi sebagai pusat kegiatan santri, para penghuni pondok pesantren. Masjid di pesantren tidak berfungsi sekuler, yakni untuk amalan-amalan ukhrowi saja, tapi juga sebagai pusat ekonomi, pembelajaran, dan pemberdayaan. Maka biasanya bangunan yang pertama kali ada dalam sebuah pondok pesantren haruslah masjid, meskipun di kemudian hari tradisi ini mulai berubah.

Pondok pesantren lekat sekali dengan pengkajian ilmu-ilmu ketuhanan (divinity). Para santri bertafaqquh fiddin agar mereka dapat menjadi penyeru bagi ummat-ummatnya. Selain itu, ilmu-ilmu kauniyah pun tidak luput dari kajian mereka. Mereka belajar tauhid, fiqh, al-quran, assunah, sekaligus astronomi, fisika, biologi, kimia, ekonomi, sejarah dan disipilin ilmu lainnya. Dalam dunia pondok pesantren tidak dikenal dikotomi ilmu. Yang ada adalah kesadaran bahwa semua ilmu sumbernya satu: al-‘Alim, Yang Maha Mengetahui. Tentunya ilmu ketuhanan memiliki porsi lebih, hal ini karena berkaitan dengan jenjang prioritas dalam pengklasifikasian ilmu.
Satu hal kekhasan yang dimiliki oleh pesantren dan sangat sulit ditiru oleh lembaga pendidikan lainnya adalah kuatnya penanaman akhlak-akhlak terpuji. Label ‘santri’ pun secara dzahir telah identik dengan keshalehan, baik itu secara individu maupun sosial. Hal ini wajar, karena pembiasaan aplikasi akhlak terpuji telah mendarah daging dalam dunia pendidikan pondok pesantren. Kyai sebagai sentral figur di dalamnya memberikan uswah dan qudwah hasanah dalam pendidikan akhlak. Karena penanaman akhlak lebih mengena dengan perbuatan daripada penjejalan materi di dalam kelas, maka pendidikan akhlak di pondok pesantren sangat mengena di benak para santrinya. Itu pulalah ternyata yang menginspirasi Kemendiknas untuk memasukan unsur-unsur pendidikan karakter di sekolah-sekolah, yang diakui terinspirasi dari pendidikan akhlak pondok pesantren.

Karena kekhasannya ini pulalah yang membuat pendidikan pondok pesantren memiliki keunggulan dari macam pendidikan konvensional lainnya. Pendidikan pondok pesantren unggul karena corak pendidikannya yang integratif, tidak parsial. Pola pendidikan holisitik yang diterapkan di lembaga ini telah berjalan lebih dari ratusan tahun dan berhasil mencetak kader-kader bangsa yang ikut andil dalam melahirkan negara ini. 

Pendidikan integral pondok pesantren meliputi ranah kurikulum dan aktivitas. Para santri tidak hanya bertafaquh dalam ilmu-ilmu ketuhanan, tapi mereka mengkaji ilmu-ilmu yang memungkinkan mereka bereksplorasi di dunia seperti ilmu alam dan ilmu sosial. Bedanya, pendekatan pengkajian ilmu-ilmu kauniyah tersebut tidak melalui pendekatan sekuleristik di mana ilmu dikeluarkan dari fitrahnya, tapi mereka melakukannya sebagai upaya mengenal bukti-bukti keagungan Allah. Semakin mereka mengetahui rahasia di balik alam semesta, mereka semakin percaya bahwa Allah adalah Sang Maha Agung. Pendekatan ini memberi kekhasan pula akan keshalehan santri dalam semua aspek termasuk dalam ranah intelektual.

Aspek keterpaduan pondok pesantren juga terlihat dalam totalitas kegiatan yang ada di dalamnya. Kegiatan-kegiatan para santri tidak hanya bersangkut paut dengan dunia ragawi tapi juga dunia rohani. Mereka mengasah raga dengan bermain sepak bola dan kalbu dengan shalat lima waktu berjamaah. Mereka melatih kepemimpinan dengan berbagai macam kegiatan keorganisasian, dan dalam waktu yang bersamaan mengerjakan puasa Sunnah Senin-Kamis. Begitu seterusnya. Pendidikan pesantren tidak akan pernah parsial tapi senantiasa holistik meliputi pendidikan jasmani, rohani, indrawi, intelektual, emosional dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan karena pendidikan pondok pesantren selalu terpadu dan merujuk konsep pendidikan hakiki.

Maka wajar karena pendidikan yang dilaksanakan di pondok pesantren adalah pendidikan holistik, maka manusia yang dihasilkan pun adalah manusia sempurna (insan kamil). Kalau ada diantara mereka- setelah mengenyam pendidikan pesantren- menjadi ilmuwan, maka mereka akan menjadi ilmuwan yang santri – dengan atribut kesahlehannya. Pun, ketika mereka ditakdirkan untuk menjadi pejabat negara, maka serta merta mereka akan menjadi pejabat yang amanah, adil dan bersedia banting tulang untuk menyejahterakan rakyat. Begitu dan seterusnya.

Pendidikan 24 jam ala pondok pesantren akan memberikan kesan tersendiri bagi para penghuninya. Setidaknya para santri akan menghadapi romantika-romantika kehidupan baik hubungan personal dengan dirinya, teman-temannya, guru-gurunya maupun alam semesta tempat mereka berpijak. Romantika kehidupan tersebut akan senantiasa terpatri dalam fragmen kehidupan mereka sampai akhir hayat.

Biasanya, orang tua menitipkan anak-anak mereka ke pondok pesantren pasca pendidikan dasar dimana mereka mulai menginjak masa remaja. Tentunya, masa remaja memiliki problematika-problematika kehidupan khas dimana anak mencari jati dirinya, menempa kepribadiannya, mengukir sejarah hidupnya dan menancapkan fondasi yang kokoh bagi masa depannya. Di sinilah konflik pribadi biasanya muncul. Dari riak-riak kecil ini akan lahir memori-memori yang khas karena mereka tumbuh dan berkembang di lingkungan pesantren. Karena pendidikan 24 jam pula memori-memori tersebut susah untuk dilupakan sampai ajal menjemput. 

Dalam buku inilah santri-santri Pondok Pesantren Riyadlul-‘Ulum Wadda’wah menuangkan memori-memori khas itu dalam tulisan-tulisan yang jujur dan polos. Bagi orang yang tidak pernah mengalaminya, jejeran tulisan ini seakan hal yang biasa. Sebaliknya, bagi mereka yang terlibat di dalamnya tulisan terasa istimewa karena memiliki ikatan emosisional yang kuat dengan kehidupan nyata mereka.

Santri-santri penulis yang tergabung dalam Komunitas Matapena Rayon Tasikmalaya mencoba untuk memotret kehidupan santri secara utuh. Ada kisah tentang mobil Toyota tua ‘Blazzer’ kebanggaan santri, yang mana –disamping beberapa cacat yang dimilikinya- mampu berkontribusi besar dalam mencetak sejarah santri. Pun ada celotehan ringan tentang problematika santri keseharian seperti saling intip mengintip, ghasab, ngantukan karena lelah, kegiatan pondok yang padat, keharusan berbahasa Arab dan Inggris, berkesenian, dan lain sebagainya. Fragmen-fragmen kehidupan tersebut tersusun dengan indah sehingga menjadi sebuah mozaik kehidupan yang sulit dilupakan. 

Nyatanya, romantika kehidupan santri yang terpapar dalam buku sederhana ini adalah ‘virus’ yang teruji selama berpuluh-puluh tahun berhasil mencetak kader-kader bangsa yang mampu berkontribusi besar dalam pembangunan negara dan bangsa. Karena mereka yakin bahwa hidup di dunia ini hanya sekali dan oleh karenanya mereka memilih untuk hidup yang berarti!



0 komentar:

Posting Komentar